Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun pun berlalu. Tidak terasa peringatan demi peringatan Isra miraj, sering kita laksanakan setiap tahun. Walaupun peristiwa yang sangat bersejarah ini telah berulang kali kita peringati, namun hal ini tidak pernah membosankan kita sebagai seorang mukmin. Karena dengan adanya peringatan Isra mi’raj ini, sangat banyak manfaat yang akan kita dapatkan, baik itu berupa pelajaran, hikmah bagi kita, maupun sebagai siraman rohani dan pemantapan iman di dalam dada-dada kita.
Mengapa saya katakan sebagai siraman rohani dan pemantapan iman? Karena Isra dan Mi’raj merupakan peristiwa maha ghaib yang menuntut umat manusia, bukan hanya umat Islam, untuk mengimaninya.
Sebagaimana kita tau, Isra dan mi’raj merupakan fenomena ilahiyah (atau sebuah kenyataan yang sengaja tuhan ciptakan) yang telah muncul sejak masa awal kelahiran Islam itu sendiri, di tengah masyarakat yang memiliki gaya berpikir sangat primitif dan sederhana, belum mampu menemukan discovery atau penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern sepeti zaman sekarang ini. Sehingga sangat sulit bagi seseorang di zaman itu untuk percaya terhadap peristiwa Isra dan mi’raj ini. Oleh karenanya, bukan sesuatu yang aneh, jika tidak sedikit orang-orang yang telah memeluk Islam, akhirnya kembali menjadi kafir, karena peristiwa yang mereka anggap tidak masuk akal ini.
Isra dan mi’raj adalah mu’jizat ilahiyah yang memang tidak mesti terjangkau oleh akal manusia. Akal manusia sangatlah terbatas untuk bisa menelusuri eksistensi Isra dan miraj itu sendiri, karena Isra dan miraj adalah termasuk urusan ghaib yang tidak bisa dicapai oleh sesuatu yang bersifat inderawi (Al hawas). Dalam hal inderawi ini akal hanya diperintahkan untuk meyakini dan tunduk kepada apa saja yang difirmankan oleh Allah swt, dan disabdakan oleh nabi Muhammad saw.
Di sinilah kita bisa membuktikan kelemahan akal manusia. Dari mana kita coba buktikan? Contoh..., kalau kita berandai untuk membawa akal kita kembali ke zaman dahulu, ke zaman dimana belum ditemukan saintis, tekhnologi, dan ilmu ilmu pengetahuan modern seperti zaman sekarang ini. Di zaman kolot yang kalo kata anak sekarang, “zaman kuda masih gigit besi”.
Kalau pada waktu itu ada orang yang bercerita tentang radio, televisi, komputer, internet. Adanya listrik yang sekali sentuh bisa terang, sekali sentuh bisa gelap dengan seketika. Pastilah ia dibilang tukang sihir. Kemudian bercerita pula tentang seseorang yang mampu menjelajah angkasa raya, bahkan sampai mendarat di bulan dan sebagainya. Maka dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi terhadap seseorang yang bercerita seperti ini. Tidak pelak lagi, dia pasti akan dituduh sebagai seorang pengkhayal, seorang yang aneh, bahkan dianggap gila. Hal hal semacam ini, meskipun masih termasuk ke dalam ruang lingkup alam dunia yang bersifat inderawi, tapi kita teramat yakin, pada saat itu akal manusia tidak akan mampu menerimanya. Apalagi dengan hal hal yang berbau alam ghaib? Tentunya akal lebih sulit untuk menganalogikan dan menerimanya, kecuali hanya dengan satu hal, “iman!”, bagi orang-orang yang hatinya bersih.
Hal inilah yang dialami oleh baginda Rasulullah Saw ketika menyampaikan peristiwa ini, secara spontan orang orang Qurays mengatakan bahwa beliau adalah seorang pembohong, pengkhayal dan bahkan dituduh sebagai seorang yang telah gila, Sehingga tidak sedikit orang orang yang masih tipis imannya menjadi murtad kembali dari agama Islam.
Pada zaman kita sekarang, tentunya sudah tidak asing lagi bagi kita, bila seseorang mampu mendeteksi kondisi luar angkasa hanya melalui sebuah layar komputer, yang sama sekali tidak mempunyai sambungan kabel ke luar angkasa sana. Betapa banyak ilmu ilmu baru yang masih akan ditemukan oleh manusia di masa mendatang, yang mungkin pada saat ini masih kita anggap sebagai sesuatu yang mustahil. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt yang mengatakan:
سنزيهم آيتنا في الآفاق وفي أنفسهم حتي يتبين لهم أنه الحق، أو لم يكف بربك أنه علي كل شيء شهيد. (فصلت: 53)
"Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri. Sehingga jelas bagi mereka, bahwa AI Qur'an itu adalah benar. Apakah Tuhanmu tidak cukup bagi kamu bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu”. (QS. 41:53).
B. Beberapa Peristiwa Penting Menjelang Isra` dan Mi’raj
Sebagian ulama berpendapat, bahwa tujuan Isra dan mi'rai adalah merupakan hiburan untuk mengangkat hati Rasulullah Saw yang sebelumnya telah mengalami berbagai cobaan dan ujian dalam mengemban dakwah Islam. Setidaknya ada tiga cobaan besar yang pernah dialami Rasulullah Saw sebelum peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, yaitu: pengasingan sosial yang dilakukan kaum Qurays terhadap Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim, Wafatnya dua orang yang sangat dicintai Rasulullah Saw dan yang selama itu senantiasa menjadi penopang dakwah nabi, yaitu pamannya Abu Thalib dan Istrinya Khadijah binti Khuwailid yang senantiasa setia mendampingi Rasulullah dalam pahit getirnya mengemban risalah dakwah. Sehingga tahun terjadinya cobaan ini sering diistilahkan dengan tahun kesedihan (Âm al Huzni), dan soal penolakan masyarakat Thaif terhadap dakwah Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Bukan hanya sekedar penolakan, bahkan lebih dari itu, dimana Rasulullah Saw dilempari dengan batu sehingga mengakibatkan kaki beliau bersimbah darah. Selanjutnya akan kita uraikan tiga cobaan itu secara lebih terperinci.
1. Pengasingan
Pada tahun ketujuh sejak kenabian Muhammad saw, seluruh kabilah musyrikin Qurays berkumpul dan sepakat untuk memboikot Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim dari kegiatan sosial. Bentuk kesepakatan blokade ini adalah: larangan berhubungan jual beli, dan berbicara dengan mereka. Menurut kesepakatan, pengasingan ini hanya bisa dicabut apabila Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim menyerahkan Muhammad ke tangan mereka untuk dibunuh. Dokumen kesepakatan pengasingan ini ditempelkan pada dinding dalam Ka'bah agar tidak bisa dilihat dan dicabut oleh siapapun.
Dengan ini berarti Qurays telah mengumumkan mulai berlakunya resolusi pengasingan sosial terhadap nabi Muhammad Saw dan para pengikutnya, dan yang telah memeluk ajaran Islam secara khusus, juga terhadap Bani Abdul Muthallib dan Bani Hasyim secara umum walaupun belum masuk agama Islam. Mereka dihimpun disebuah lembah kering yang jauh dari sumber makanan, yang disebut sebagai lembah Abu Thalib. Pengasingan yang tidak berperikemanu¬siaan ini berjalan selama tiga tahun lebih. Dalam jangka waktu sepanjang itu, Bani Abdul Muthallib dan Bani Hasyim tidak diperkenankan menjual atau membeli barang apapun di pasar. Sehingga rintihan kelaparan dan tangisan kehausan, selalu terdengar dari kaum tertindas ini. Tidak sedikit diantara mereka yang mengikatkan batu pada perut sekedar untuk menahan rasa lapar yang mereka derita, tidak sedikit diantara mereka yang makan dedaunan untuk sekedar menyumpal perut kosong. Sementara Abu Jahal dan para pengikutnya selalu awas dan waspada terhadap siapa saja yang berani melanggar ketentuan resolusi yang telah disepakati bersama ini. Abu Jahal tidak pernah merasa tersentuh mendengar tangisan bayi dan rintihan orang tua yang sedang menderita kelaparan. Yang terpenting bagi Abu Jahal hanyalah, bagaimana Bani Abdul Muthallib dan Bani Hasyim bersedia menyerahkan nabi Muhammad untuk dibunuh atau mau berhenti dari kegiatan dakwah yang diembannya.
Pada tahun kesepuluh dari kenabian, atas kebesaran Allah Swt, Rasulullah bermimpi, bahwa dokumen kesepakatan yang terdapat di dalam ka'bah itu telah terhapus dimakan rayap, kecuali sedikit tulisan nama Allah yang masih tersisa di dokumen terlaknat itu. Mimpi ini beliau ceritakan kepada pamannya Abu Thalib, Abu Thalib pun mempercayainya. Akhirnya Abu Thalib mendatangi kumpulan kafir Qurays dan menceritakan apa yang telah ia dengar dari keponakannya. Selanjutnya ia mengatakan: "Allahlah yang telah menghancurkan dokumen kalian yang biadab dan terlaknat itu. Jika benar apa yang dikatakan oleh keponakanku, maka kalian harus menghentikan pengucilan dan pengasingan yang tak berperikemanusiaan ini, dan jika ia berbohong maka akan aku serahkan ia kepada kalian untuk dibunuh".
Kafir Qurays menerima syarat yang diajukan oleh Abu Thatib itu dengan senang, dan mereka merasa bahwa kemenangan segera akan mereka peroleh. Karena mereka sangat yakin, bahwa apa yang dikatakan Muharnmad adalah tidak benar dan mustahil terjadi, sebab dokumen yang dicap dengan tiga stempel itu selalu berada dalam perut ka'bah dan belum pernah dilihat dan disentuh manusia. Mereka bersama¬-sama pergi ke ka'bah untuk membuktikan siapa yang akan menang. Sesampai mereka di sana, ternyata yang mereka temui sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. Akhirnya, dengan perasaan marah mereka terpaksa menghapus kesepakatan pengasingan itu. Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim diperbolehkan kembali ke rumah mereka masing-¬masing dan bergaul seperti sedia kala.
2. Tahun Kesedihan (‘Âm AI Huzni)
Belum lama Rasulullah merasakan kebebasan dari cobaan pedih berupa pengasingan sosial, yang dilakukan oleh kafir Qurays, cobaan baru yang tak kalah pedihnya pun menimpa. Yaitu wafatnya Abu Thalib, sang paman dan sekaligus sebagai wali bagi baginda Rasul yang ditinggal ayahnya, Abdullah, semenjak beliau berada dalam kandungan ibunya. Abu Thaliblah yang bertanggung jawab atas keselamatan Rasulullah dan selalu melindungi dan menjaganya dari usaha pembunuhan kafir Qurays. Selang beberapa hari setelah wafatnya Abu Thalib, menyusul lagi cobaan yang sangat sulit ditanggung Rasululah, yaitu wafatnya sang istri tercinta Khadijah binti Khuwailid. Maka komplitlah sudah kesedihan yang dialami oleh Rasulullah. Beliau kehilangan penolong dakwah dengan kematian Abu Thalib, dan kehilangan pendamping setia dengan kematian Khadijah binti Khuwailid. Di masa hidupnya, Abu Thalib boleh dikatakan sebagai perisai bagi keberhasilan dakwah Rasulullah. Beliau selalu tampil sebagai pembela tatkala Rasulullah menghadapi ancaman pembunuhan dan penyiksaan dari kafir Qurays. Sementara Khadijah selalu menjadi penyejuk hati dikala gundah, dan menjadi penghibur dikala mendapat kesulitan.
Dengan kepergian Abu Thalib dan Khadijah, berarti Rasulullah telah ditimpa oleh dua musibah besar, yaitu kehilangan penolong dan kehilangan orang sebagai tempat bercerita dan berbagi duka. Pada masa inilah kesedihan yang dialami Rasulullah sampai pada puncaknya. Sehingga tahun ini dikenal sebagai tahun kesedihan (Âm al Huzni).
Memang sebuah kenyataan bahwa kematian Abu Thalib adalah musibah besar dalam kehidupan Rasulullah, karena setelah kepergian beliau, kafir Qurays semakin leluasa menyiksa dan merealisasikan usaha pembunuhan terhadap baginda Rasul, yang tidak pernah bisa mereka lakukan ketika Abu Thalib masih hidup.
Demikian juga halnya dengan kepergian Khadijah, merupakan musibah yang besar dalam kehidupan dakwah Rasulullah saw. Perasaan sedih meliputi beliau, tatkala berada di luar rumah tak didapati lagi Abu Thalib sebagai penjaga dari kejahatan kafir Qurays, dan pulang kerumah hanya menemui sebuah kekosongan, tidak ditemui lagi sang istri yang selalu mengucapkan kata sabar dan selalu mendorong untuk tetap bersemangat malanjutkan perjuangan dakwah. Dimana sekarang hati yang sangat besar itu? Yang bisa menjadi tempat mengadu tatkala butuh pengaduan, yang bisa menyejukkan perasaan dikala kepanasan. Dimanakah akal yang cerdas itu? Yang bisa memberikan solusi dalam berbagai kesulitan, yang selalu membantu dalam menyelesaikan setiap problem yang dihadapi. Dimana jiwa yang wilas asih itu? Yang selalu bersedia menanggung penderitaan dan beban berat dalam memperjuangkan kebenaran. Dimana Khadijah sang istri yang setia? Yang menyatakan iman tatkala orang orang mengingkarinya, yang membenarkan tatkala orang orang mendustakannya. Dimana sang dermawan itu? Yang menginfakkan hartanya untuk kepentingan agama Allah. Dimana suasana kemesraan itu? Yang selalu diliputi rasa cinta dan kasih sayang, yang selalu mendorong untuk tetap berjuang dengan tegar dan kekuatan. Semuanya telah pergi, seiring dengan kepergian Khadijah menemui Tuhannya. Alangkah mengharukannya, ketika Khadijah sakit ia melihat Rasulullah dalam keadaan sedih, karena membayangkan bagaimana Khadijah yang dulunya hidup mewah dan kaya raya, sekarang terbaring sakit dengan tidak memiliki apa apa. Namun apa yang terucap dari mulut wanita yang ikhlas ini? "Wahai Rasulullah, janganlah engkau bersedih, kalaupun ada jalan yang terputus untuk keberhasilan dakwah ini, dan tidak ada papan sebagai jembatannya, saya bersedia menyerahkan tubuh ini sebagai penggantinya!". Siapakah kiranya yang tidak akan bersedih ditinggal seorang istri mulia seperti ini? Rasulullah sebagai manusia biasa (Basyar), juga tidak luput dari perasaan sedih bila ditimpa musibah yang amat besar seperti ini.
Penulis buku "Sîrah Nabawiyyah wa Atsar Muhammadiyyah" mengatakan: "Setelah Abu Thalib meninggal, permusuhan kafir Qurays semakin menjadi-jadi terhadap Rasulullah. Berbagai penyiksaan diarahkan kepadanya tanpa ada lagi yang membela. Pada suatu hari Rasulullah pulang ke rumahnya dengan kepala penuh dikotori tanah bekas Iemparan kafir Qurays, sehingga salah seorang putrinya membersihkan kepala yang mulia itu sambil menangis. Rasulullah berkata: "Wahai anakku, janganlah engkau menangis! Karena Allahlah yang akan melindungi bapakmu ini". Sehingga akhirnya Rasulullah mengatakan: "Belum pernah Kafir Qurays melakukan hal seperti ini kepadaku, hingga wafatnya Abu Thalib".
3. Berdakwah ke Thaif
Dengan diliputi kesedihan yang tiada taranya di kota Mekah, Rasululah tidak pernah merasa putus asa menyebarkan dakwahnya. Setelah lebih kurang sepuluh tahun berdakwah di Mekah, namun tidak mendapat hasil positif dari kaumnya, beliau berfikir untuk berdakwah di luar Mekah. Tempat yang terpikir oleh beliau adalah daerah Thaif, daerah dimana sewaktu Rasulullah masih bayi pemah disusui oleh Halimatus Sa'diyah. Beliau berharap kalau masyarakat Thaif mau menerima dakwahnya, sehingga bisa menjadi basis bagi perjuangan dakwah untuk masa masa mendatang.
Namun antara apa yang dibayangkan dengan realita yang beliau temui ternyata sangat bertolak belakang. Dengan rasa kebencian peminpin Thaif menolak dakwah Rasulullah, seraya mengatakan: "Keluarlah engkau dari negeri kami ini, cari tempat lain yang engkau sukai. Kami sangat takut akan terjadi kekacauan di tengah masyarakat dan kerusakan terhadap agama mereka".
Sebagaimana masyarakat Thaif tidak ramah menyambut kedatangan Rasulullah, begitu pula halnya Rasulullah keluar dari Thaif dengan pengusiran dan kekerasan. Pemimpin Thaif mengerahkan masyarakatnya yang bodoh bodoh beserta anak-anaknya untuk mengusir Rasulullah dengan lemparan batu. Sehingga kedua kaki Rasulullah penuh luka, berlumuran darah.
Rasulullah hanya mampu menadahkan tangannya kepada Allah ketika meninggalkan Thaif, beliau adukan semua kelemahan dan ketidak berdayaannya kepada yang Maha Perkasa. Pengaduan Rasulullah ini terabadikan dalam do'anya yang sangat masyhur: "Ya..Allah, aku mengadukan kepada-¬Mu tentang kelemahanku.., ketidak berdayaan yang aku miliki.., rendahnya aku di hadapan manusia. Ya..Allah, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.., Engkau adalah Tuhan orang orang yang tertindas.., dan Engkau adalah Tuhanku..kepada siapa akan Engkau serahkan diriku ini? Apakah kepada orang jauh yang akan memberengutku..? Ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli.., akan tetapi ampunan-Mu yang Maha Luas sangat aku harapkan. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang menerangi segala kegelapan, Yang dengan itu urusan dunia dan akhirat ini akan menjadi baik, dari kemarahan-Mu kepadaku, dan dari kemurkaan-Mu yang akan Engkau timpakan kepada diriku, serta dari seluruh cela yang aku miliki, sehingga Engkau ridha kepadaku. Tidak ada kekuatan dan daya upaya kecuali hanya milik Mu, ya..Allah!'
Maka dari sekian banyak ujian dan cobaan yang dialami baginda Rasul di tahun sepuluh kenabian ini, kemudian dinamakan sebagai tahun kepedihan dan kesedihan. Namun Kondisi seperti ini terus berlanjut dengan perjuangan dan pengorbanan Rasulullah yang tak mengenal putus asa. Sementara para musuh Allah, terus saja melancarkan makarnya kepada Rasulullah Saw.
Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, semua peristiwa diatas terjadi dengan kehendak-Nya. Dan perlindungan Allah Swt selalu menyertai Nabi Muhammad. Karena itu, Allah memerintahkan agar Rasulullah bersabar, demi memantapkan hati beliau terhadap kebenaran janji janji Allah, seperti yang kita temui dalam AI Qur'an.
Alangkah mulianya seorang da'i yang telah mengorbankan dirinya untuk kepentingan umat manusia, menahankan berbagai kepedihan dan penderitaan dari sikaan musuh musuh AIlah yang durjana. Sebagai seorang manusia, tentu saja Rasulullah tidak luput dari rasa sedih dan duka bila menemui orang orang yang menolak dakwahnya, sementera beliau sangat ingin agar mereka mendapat hidayah, dan berada dalam keimanan.
Maka telah tiba saatnya Rasulullah mendapatkan udara baru, untuk mengurangi kesedihan yang tak terperikan ini, guna membangkitkan kembali kekuatan jiwa dan semangat juang untuk menyebarkan agama Allah di muka bumi ini.
Maka menginjak tahun sebelas kenabian, suatu peristiwa besar terjadi, peristiwa yang sempat menghebohkan kota Mekah, dan menjadi buah pembicaraan yang tak putus-¬putusnya hingga sekarang. Yaitu perjalanan unik yang dilakukan oleh seorang hamba di muka bumi pada malam hari, yang dilanjutkan dengan perjalanan ke langit. Itulah peristiwa Isra' dan Mi'raj nabi besar Muhammad saw, yang selalu diperingati oleh umat Islam setiap tahunnya di seantero dunia.
Perjalanan ini, Allah sendiri yang menentukan waktu, tempat, tujuan, dan maksudnya. Hal ini temaktub dalam firman Allah dalam surat Al Isra Ayat 1 yang berbunyi:
سبحان الذي أسري بعبده ليلا من المسجد الحرام الي المسجد الأقصي الذي باركنا حوله لنريه من آياتنا إنه هو السميع البصير. (الإسراء: 1).
"Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-¬Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha, yang Kami berkahi sekelilingnya. Untuk Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dialah Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. 17: 1).
Waktunya adalah pada malam hari (Lailan). Tempatnya adalah dari Al Masjidil Haram di Mekah ke Al Masjidil Aqsha di Palestina (Minal Masjidil Haram iIaI MasjidiI Aqsha) untuk perjalanan di atas bumi, dan dari Al Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha untuk perjalan ke langit sampai ke al Mala` al A'la bertemu dengan Allah Swt. Sementara tujuannya adalah untuk memperlihatkan tanda tanda kebesaran Allah kepada nabi Muhammad serta keagungan kekuasaan Nya (Linuriyahu min aayaatinaa).
Dari sini jelaslah bagi kita rahasia dan hikmah yang terdapat pada peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, bukan hanya sekedar mujizat bagi Rasulullah, akan tetapi juga, merupakan penghormatan kepada Rasulullah untuk sampai ke Al ¬Mala` AI A'la dan sebagai hiburan, serta pelajaran penempaan iman bagi beliau. Lebih dari itu untuk Iebih menenangkan hati baginda Rasul serta lebih menambah keyakinannya dengan bisa melihat langsung tanda tanda kebesaran Allah, sesuai dengan firman Allah yang mengatakan: "Linuriyahû min âyyâtinâ" (Agar Kami perlihatkan kepadanya dari tanda¬-tanda kebesaran Kami) serta dalam firman Nya dalam ayat yang lain "Laqad ra`aa min aayyati rabbihil kubro" (Sungguh ia telah melihat tanda tanda kekuasaan Tuhannya yang amat besar).
4. Persiapan fisik dan mental Muhammad saw
Menjelang keberangkatan Rasul melakukan Isra' dan Mi'raj, beliau didatangi oleh utusan Tuhan, yang membedah dada dan membersihkan hati beliau dengan air, sebagai persiapan menghadapi perjalanan rabbaniyah yang amat aneh. Selanjutnya hati yang bersih itu, dipenuhi dengan hikmah dan keimanan. Setelah itu barulah Rasulullah diperjalankan ke Baitul Maqdis sampai ke Sidratul Muntaha menemui Allah.
Sebagian pengkaji rasionalis, mengingkari eksistensi peristiwa pembedahan dada Rasul ini. Padahal kalau kita perhatikan perkembangan ilmu pengetahuan di era teknologi canggih sekarang, dimana seorang astronot harus dibekali dengan oksigen atau bekal lain justru memperkuat peristiwa itu sendiri. Apalagi bagi kita seorang muslim beriman terhadap hadits hadits shahih Rasulullah Saw yang berkenaan dengan peristiwa ini.
Kita melihat peristiwa ini, tidak lebih dari sebuah kehendak Allah yang ingin memperjalankan hamba Nya, dengan aturan aturan Allah itu sendiri. Peristiwa ini sendiri hanyalah salah satu mujizat dari sekian banyak mujizat yang diberikan Allah kepada para nabi.
Isra' dan mi’raj adalah sebuah perjalanan dengan aturan Allah, yang juga menurut sunnatullah tetap membutuhkan persiapan tertentu yang matang, baik dari segi fisik maupun mental. Sedangkan seorang astronot pada zaman sekarang, untuk pergi ke bulan saja membutuhkan berbagai persiapan dan latihan yang sangat pelik, agar mampu menghadapi berbagai kondisi. Maka tidak heran jika Rasulullah yang akan menempuh sebuah perjalan, yang diatur langsung menurut skenario Tuhan, juga membutuhkan persiapan menurut aturan Tuhan pula, yang barangkali sulit dicerna oleh sebagian akal manusia.
Menurut penelitian para ahli hadis, seluruh hadis Nabi yang berbicara tentang pembedahan dada nabi ini dapat diterima, sesuai dengan syarat syahnya suatu hadits. Kalaulah demikian halnya, dan mayoritas periwayat hadits sepakat membenarkannya, maka gugurlah semua pernyataan orang-¬orang yang mengingkari keberadaan peristiwa itu.
Menurut para ahli sejarah Islam, peristiwa pembedahan ini telah terjadi sebanyak empat kali bagi Rasulullah saw, yaitu:
Pertama, ketika menginjak umur tiga tahun, yaitu sebulan setelah kembali dari rumah Halimatus Sa'diyah, Ibu susuannya. Peristiwa ini terjadi dalam lingkungan perumahan Bani Saad.
Kedua, ketika berumur sepuluh tahun, dan peristiwa ini terjadi di Makkah Al Mukarramah.
Ketiga, ketika berumur empat puluh tahun, yaitu menjelang menerima wahyu pertama kali, sebagai penobatan beliau menjadi utusan Allah.
Keempat, ketika berumur lima puluh tahun, yaitu pada malam Isra' dan Mi'raj.
Seluruh peristiwa ini, bisa kita temui dalam hadits hadits nabi yang shahih. Mungkin saja sebagian orang bertanya, apa hikmah dari berulang kalinya peristiwa pembedahan dada rasul ini? Secara ringkas, di sini dapat penulis kemukakan pendapat ulama tentang itu:
Dari pembedahan pertama adalah, agar Rasulullah tumbuh sebagai manusia sempurna, dan terbebas (ma'shum) dari godaan setan.
Dari peristiwa kedua adalah, untuk menambah kesucian hati nabi memasuki usia dewasa yang lebih banyak menghadapi tantangan hawa nafsu.
Dari pembedahan ketiga, menjelang pertama kali menerima wahyu, hikmahnya adalah bahwa yang akan diturunkan Allah kepadanya adalah Kalam suci, oleh sebab itu hendaklah tempat bersemayamnya harus juga suci secara sempurna, yaitu hati nabi.
Pada peristiwa keempat, yaitu ketika beliau akan berangkat Isra' dan Mi'raj. Hikmahnya adalah agar beliau dalam menghadap dan bertemu Tuhan tidak memiliki sedikit nodapun.
Demikianlah diantara hikmah pembedahan dada nabi, dan tentu saja tidak terbatas pada hal hal yang telah kita sebutkan itu saja.
C. Peristiwa Isra' dan Mi'raj
Peristiwa Isra' dan Mi'raj termasuk peristiwa sejarah yang sangat banyak mendapat perhatian dan perbincangan para ilmuwan sosial. Diantara ahli sejarah, ada yang sangat berlebihan dalam memandang kedudukan nabi Muhammad berikut mu’jizatnya, ada pula sebaliknya, mengingkari sama sekali keberadaan mujizat dalam perjalanan sejarah hidup seorang nabi.
Menurut Dr. Muhammad Said Ramadhan Al Buty, dalam bukunya "Fiqhus Sîrah An Nabawiyyah". Bahwa adanya pandangan yang mengingkari mu’jizat Nabi dalam peristiwa Isra' dan mi'raj ini, berasal dari para orientalis yang turut mengkaji peristiwa Isra' dan Mi'raj tanpa terlebih dahulu didasari keimanan terhadap hal hal yang ghaib. Sehingga fenomena apapun dalam sejarah, selalu mereka ukur dengan logika akal yang terbatas. Diantara para orientalis yang memiliki pandangan seperti ini adalah Gustaf Lobon, Ougust Comte, Hume, Gold Ziher dan banyak lagi yang lainnya. Sebagai sebab utama dari pandangan mereka seperti ini adalah, karena tiadanya iman terhadap pencipta mujizat itu sendiri. Karena jika iman kepada Allah telah tertanam di dalam jiwa seseorang, maka akan mudah untuk mengimani segala sesuatu yang Iebih mudah dari pada itu.
Sayangnya, pemikiran seperti ini tidak hanya dimiliki oleh para orientalis kafir saja. Akan tetapi telah diadopsi juga oleh sebagian pengkaji dari kalangan kaum muslimin sendiri, yang terlalu silau dengan istilah metodologi ilmiyah –padahal subjektif-- yang digembar gemborkan Eropa. Sehingga akhirnya mereka berpandangan bahwa yang melakukan Isra' dan Mi'raj itu hanyalah ruh nabi, bukan fisiknya (jasadnya). Karena menurut mereka, mustahil tubuh nabi yang material dan terbuka itu bisa menembus lapisan langit dalam waktu yang sangat terbatas.
Namun pandangan seperti ini telah banyak dibantah ole para ulama Islam, bahwa kata kata ‘abdihi (hamba Nya) dalam surat AI Isra' ayat 1 itu adalah terdiri dari unsur ruh dan tubuh. Karena dalam bahasa Arab, ruh saja tidak cukup untuk bisa dikatakan sebagai hamba, begitu sebaliknya bahwa tubuh saja tidak bisa dikatakan sebagai hamba. Yang dikatakan sebagai seorang hamba mesti terdiri dari gabungan unsur ruh dan tubuh.
Selanjutnya di bawah ini kita masuk ke dalam pembahasan peristiwa Isra' dan mi’raj menurut pandanga ulama Islam.
1. Mulai Perjalanan Isra (Dari Al Masjidil Haram ke Al ¬Masjidil Aqsha)
Sumber kisah-kisah tentang perjalanan yang penuh misteri itu adalah kata kata pada permulaan Surah Al isra yang berbunyi:
سبحان الذي أسري بعبده ليلا من المسجد الحرام الي المسجد الأقصي الذي باركنا حوله لنريه من آياتنا إنه هو السميع البصير. (الإسراء: 1).
"Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba Nya dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat".
Dalam kitab sirahnya, Ibnu Ishaq menggambarkan kisah Isra' dan mi'raj ini sebagai berikut: Suatu malam Jibril membawa nabi naik ke atas punggung samawi yang disebut Buraq; lalu Muhammad Saw mengadakan perjalanan bersama Jibril. Dan dalam perjalanan malam ke Yerussalem, Rasulullah diperlihatkan dengan berbagai keajaiban. Dan sesampainya di Masjidil Aqsha, Rasulullah bertemu dengan nabi nabi terdahulu, sekaligus mendapatkan penghormatan untuk mengimami shalat bersama mereka.
AI Buroq, dalam bahasa Arab menurut sebagian pendapat berasal dari kata "Al Barq" yang berarti kilat. Boleh ditafsirkan bahwa penggunaan nama ini dalam Al Qur'an adalah untuk menunjukkan kecepatan yang tiada tara dari jenis kendaraan ini.
Di dalam buku buku hadis, Al buroq ini digambarkan sebagai kuda putih yang sangat indah. Oleh sebab itu logika orang Arab pada zaman Rasulullah Saw tidak dapat menerima peristiwa Isra dan mi'raj yang diceritakan oleh baginda Rasul ini. Karena mereka mengetahui bahwa seseorang yang mengendarai kuda pulang pergi dari Mekah ke PaIestina akan memakan waktu selama lebih kurang dua bulan. Sementara Rasulullah mengatakan kepada mereka, bahwa beliau telah pergi ke Masjidil Aqsha dan di lanjutkan lagi dengan perjalanan mi'raj ke langit tinggi, hanya dalam waktu satu malam. Sehingga berita yang disampaikan oleh rasul tercinta ini, menjadi bahan tertawaan dan cemoohan bagi orang orang yang mempunyai penyakit dalam hatinya, yaitu orang orang kafir Qurays yang mengingkari kebenaran ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Lain dengan kita yang hidup pada era teknologi canggih sekarang ini, dimana para ilmuwan telah mampu menemukan kecepatan sebuah teknologi yang melebihi kecepatan cahaya dan suara, yang secara aksiomatis sudah pasti akan mengurangi panjangnya masa dalam menempuh sebuah perjalanan, dan secara otomatis manusia pada zaman sekarang dapat memahami bahwa sesuatu perjalanan sejauh manapun bisa dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dari yang terjadi pada masa masa sebelumnya.
Seandainya saja orang orang kafir yang menentang Rasulullah itu masih hidup bersama kita sekarang ini, tentu saja mereka akan melihat kebenaran apa yang disampaikan Rasulullah kepada mereka. Ternyata hal itu bukan merupakan sesuatu yang mustahil dalam kehidupan kita sebagai manusia biasa di zaman ini, apatah lagi kiranya bagi seorang rasul Allah yang dikehendaki sendiri oleh Allah sebagai Sang Pencipta.
Dalam waktu yang sangat singkat, Rasulullah telah sampai di "Al Bait Al Maqdis". Di sana beliau bertemu dengan para nabi terdahulu, dan mengimami shalat. Sesungguhnya Isra' dan Mi'raj adalah perjalanan yang penuh dengan keberkahan, antara Masjidil Haram yang dibangun ole Nabiyullah Ibrahim dan anaknya Isma'il ‘Alaihimassalam di Mekah dan Masjidil Aqsha yang dibangun oleh Nabiyullah Daud dan Sulaiman ‘AlaihimassalamI di Palestina. Kedua rumah suci ini telah diberkahi oleh Allah swt. Demikian juga dengan apa yan terdapat disekitarnya, demikian yang termaktub dalam firman Allah. Sehingga tempat ini benar benar menjadi pusat peribadatan dan pengesaan kepada Allah Swt, dan pada kedua tempat suci inilah wahyu wahyu Allah diturunkan kepada para rasul Nya.
Dalam perjalanan menuju Masjidil Aqsha, Rasulullah Saw sempat singgah di suatu bukit yang penuh berkah, dimana Nabi Musa As pernah menerima wahyu langsung dari All swt, yaitu "Bukit Tursina", dan rasulullah shalat dua rakaat di tempat itu. Disamping itu rasulullah juga mampir di tempat kelahiran nabi Isa As, yaitu di sebuah bukit mubarakah yan disebut "Betlehem (“baitullhami”, bahasa Arabnya)" dan beliau pun shalat dua rakaat. Akhirnya sampai di "Baitul Maqdis". Di tempat suci inilah, beliau bertemu dengan nabi Ibrahim dan Musa di tengah kumpulan para nabi dan rasul Allah yang lain. Di tempat ini juga Rasulullah Saw shalat sebagai imam bagi para nabi. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa malaikat Jibril datang kepada Rasulullah dengan membawa dua gelas minuman, satu berisi anggur, dan satu lagi berisi susu. Kemudian Rasulullah memilih gelas yang berisi susu. Jibril berkata: "Engkau telah memilih Fithrah”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Selanjutnya barulah Rasulullah melanjutkan perjalanan ke langit, yang disebut dengan "mi’raj'. Dalam peristiwa mi'raj inilah rasulullah melihat tanda tanda kebesaran Allah yang Maha Agung (min aayaati Rabbihil Kubra).
2. Melanjutkan Perjalanan Mi'raj ( Dari Masjidil Haram ke Sidratul Muntaha)
Firman Allah Swt yang berkenaan dengan peristiwa Mi'raj atau naik ke langit ini, bisa kita temui dalam Surat An¬ Najm Ayat: 7 18.
وهو بالأفق الأعلي. ثم دني فتدلي فكان قاب قوسين أو أدني. فأوحي الي عبده ما أوحي. ما كذب الفؤاد ما رأي. أفتمارونه علي ما يري. ولقد رءاه نزلة أخري عند سدرة المنتهي . عندها جنة المأوي. إذ يغشي السدرة ما يغشي. ما زاغ البصر وما طغي. لقد رأي من آيات ربه الكبرى.
"Sedang dia berada di ufuq yang tertinggi. Kemudian dia mendekat dan bertambah lebih dekat lagi, maka jadilah Dia dekat (kepada Muhammad) sejarak dua ujung busur atau lebih dekat lagi. Lalu Dia menyampaikan kepada hamba Nya (Muhammad) apa yang telah Dia wahyukan. Hati Muhammad tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, yaitu di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada Sorga tempat tinggal. Muhammad melihat Jibril ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatan Muhammad tidak berpaling dari yang dilihatnya itu, dan tidak pula melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar”. (QS. 53 : 7 18).
Kemudian ayat yang senada bisa pula kita temui dalam Surat At Takwir ayat: 19 24.
إنه لقول رسول كريم. ذي قوة عند ذي العرش مكين. مطاع ثم أمين. وما صاحبكم بمجنون. ولقد رآه بالأفق المبين. وما هو علي الغيب بضنين.
“Sesungguhnya Alqur'an itu benar benar firman Allah, yang dibawa oleh utusan mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan dan kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai Arsy, yang ditaati di sana (di alam Malaikat) lagi dipercaya. Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali kali orang yang gila. Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang. Dan dia (Muhammad) bukanlah seorang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib".(QS. 81: 19 24).
Secara terperinci, peristiwa besar ini dapat kita baca dalam hadis hadis Rasulullah dan buku buku sirah kehidupannya beliau.
Ibnu Ishaq, dalam kitab Sirahnya menggambarkan peristiwa tersebut sebagai berikut: "Abu Said meriwayatkan, bahwa ia telah mendengar Rasulullah Bekata: “Setelah aku melakukan apa yang harus aku lakukan di Yerusalem, aku dibawa ke sebuah tangga (mi'raj), dan aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih indah daripada itu. Itulah yang menjadi pandangan orang orang mati pada hari kebangkitan. Sahabatku Jibril, membuatku dapat memanjat sampai kami mencapai salah satu gerbang langit, yang disebut gerbang Garda. Di sana 1200 malaikat bertindak sebagai pengawal."
Di gerbang Garda ini, Isma'il As menanyakan nama Muhammad Saw, dan juga menanyakan apakah dia benar benar seorang Rasul. Setelah menerima suatu jawaban yang memuaskan, ia mengizinkan Rasulullah untuk melewati langit langit. Di langit yang paling rendah beliau melihat nabi Adam As, di hadapannya jiwa jiwa manusia berjalan dalam barisan. Beliau pun diperlihatkan penghukuman terhadap orang orang berdosa, yang sesuai dengan watak kejahatan mereka masing¬-masing. Mereka yang telah menyalahgunakan harta anak yatim, harus menelan api, para lintah darat yang biasa mencekik kehidupan ekonomi rakyat lemah, diperlihatkan sebagai tubuh bengkak dihalau oleh buaya buaya ke dalam api untuk selanjutnya diinjak injak, dan banyak lagi model¬-model siksaan yang lebih mengerikan disaksikan Rasulullah Saw. Rasulullah melanjutkan perjalanan ke lapisan langit berikutnya, dan bertemu dengan sebagian nabi sebelum beliau. Rasulullah melihat nabi Isa As di langit keempat, nabi Ibrahim As di langit ketujuh, yaitu pada tingkat tertinggi yang memberikan isyarat kedudukan yang istimewa dan sangat khusus dalam pandangan umat Islam. Baik posisi beliau sebagai nenek moyang para nabi, maupun sebagai yang berjasa mendirikan Ka'bah bersama putranya Isma'il, serta sebagai hero spiritual yang telah menghancur leburkan berhala-¬berhala. Sehingga di akhir perjalanan tersebut Rasulullah diajak memasuki surga.
Dalam hadis riwayat Bukhari, pada peristiwa Isra' mi'raj inilah ibadah shalat diwajibkan. Dimana pada awalnya Allah memerintahkan nabi untuk menyampaikan kewajiban shalat lima puluh kali sehari semalam kepada umatnya. Ketika beliau akan turun ke bumi, nabi Musa As memprotesnya dengan mengatakan bahwa umatnya tidak akan dapat menunaikan shalat sebanyak itu, dan supaya baginda Rasul kembali lagi untuk memohon kepada Allah agar jumlah itu dikurangi. Setelah beberapa upaya yang diulang ulang, Allah akhirnya mengurangi jumlah itu menjadi lima. Ketika nabi Musa As mengatakan bahwa itu pun masih terlalu banyak, Rasulullah menolak untuk meminta yang lebih ringan lagi, sehingga jumlahnya tetap lima sebagai kewajiban bagi kaum muslimin sejak saat itu hingga sekarang.
Menurut Baihaqi dalam bukunya "Dalâ`ilun ¬Nubuwwah", ketika Rasulullah kembali, tempat tidurnya masih hangat, dan tempayan air yang jatuh ketika beliau dibawa pergi, sama sekali belum tumpah. Maka perjalanan ke langit itu, merupakan sebuah perjalanan yang sangat spiritualistik dan ruhiyah, dimana didalamnya orang dapat hidup dalam satu waktu selama bertahun tahun, sebab kondisi materi atau jasmani yang berhubungan dengan ruh selama pengalaman itu, berada diluar rangkaian waktu yang merupakan ciptaan. Oleh sebab itu, para teolog Islam telah berbeda pendapat tentang perjalanan baginda Rasul ke langit itu, apakah secara jasmani atau ruhani saja. Menurut pendapat kaum Mu'tazilah (Mu'tazilah adalah salah satu mazhab teologi Islam yang lebih cenderung mendahulukan akal daripada nash), seluruh peristiwa itu hanya merupakan penglihatan hati semata, dan perjalanan itu adalah perjalanan ruhani tanpa jasmani. Namun pandangan ini telah banyak ditentang oleh para ulama terdahulu yang shaleh (As salafus Shaleh), seperti At-Thobari seorang ahli tafsir terkenal yang hidup pada awal abad ke 10 M. Beliau berpendapat bahwa perjalanan Rasulullah itu benar benar terjadi secara jasmani dan rohani, karena menurut beliau Al-¬Qur'an dengan tegas menyatakan bahwa "Allah telah memperjalankan hamba Nya pada malam hari" (Asraa bi 'abdihi lailan) dan bukan rûhan atau nafsan yang berarti "jiwa hamba Nya". Dan kenapa Rasulullah harus memerlukan sebuah tunggangan seperti Buraq, kalau perjalanan itu semata mata hanya penglihatan hati dan spiritual?
Masalah kontroversial lainnya adalah, apakah Rasulullah telah benar benar melihat Allah Swt dengan kedua belah matanya, atau hanya dengan hatinya? Masalah ini, sangat erat kaitannya dengan aliran pemikiran yang diterapkan dalam menafsirkan surah ke 53 (An Najm) ayat 13 17:
ولقد رءاه نزلة أخري عند سدرة المنتهي . عندها جنة المأوي. إذ يغشي السدرة ما يغشي. ما زاغ البصر وما طغي.
"Sesungguhnya dia (muhammad) telah melihatnya pada waktu lain, yaitu di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. Ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari apa yang dilihatnya, dan tidak pula melewatinya" (QS. 53: 13 17).
Surat ini menggambarkan dalam bagian pertamanya suatu penglihatan Nabi yang "melihatnya di ufuk tertinggi". Kata ganti "nya” dalam ayat 13 Surat An Najm tersebut dapat dirujukkan kepada Jibril, sebagai pembawa wahyu, dan dapat juga ditafsirkan sebagai berkaitan dengan Allah. Memang demikianlah kenyataannya, bahwa surat ini ditafsirkan sebagai gambaran dari peristiwa perjalanan Nabi ke langit (mi'raj). Sebagian berkata: Dia (Muhammad) melihat Jibril di ufuk tertinggi, sebagian lagi berkata bahwa dia melihat Allah dengan hatinya, sebagian lagi berkata, bahwa dia melihat Allah dengan kedua belah matanya. Mengenai siapa yang terbenar dari mereka, kita sependapat saja dengan Imam Qastallani dalam kitabnya "Al Mawâhib Al Laduniyyah". Bahwa insya Allah semua mereka berbicara benar, sebab mereka hanya mengatakan apa yang telah mereka dengar. Dan perbedaan ini, boleh dikatakan sebagai perbedaan dalam penafsiran. Sedang peristiwa Isra' dan Mi'raj itu sendiri, sama sama diimani dengan penuh keyakinan yang seragam.
Tidak seorang pun dapat membayangkan, betapa dekatnya Nabi dengan apa yang dilihatnya "Qoba qowsaini aw adna" (sejarak dua ujung busur atau lebih dekat). (QS. Al Najm: 9). Istilah ini diterangkan bukan berkenaan dengan panjangnya dua ujung busur, tetapi merupakan isyarat yang menunjukan betapa dekatnya Nabi saat menghadap Tuhannya. Dan seperti yang kita sebutkan pada awal kajian ini bahwa peristiwa Isra' dan Mi'raj ini merupakan peristiwa yang penuh dengan iman terhadap hal hal yang ghaib, maka ayat ayat ini juga penuh dengan ungkapan ungkapan sekitar masalah yang ghaib ini. Dimana iman terhadap yang ghaib merupakan aspek penting dalam aqidah Islamiyah.
Hal lain yang merupakan keunggulan Nabi Muhammad atas semua nabi nabi lain, yaitu dalam kedekatan yang sedekat¬-dekatnya ini. Dimana matanya tidak menyimpang dan tidak berpaling sedikitpun ketika melihat Allah, "Ma zaaghal ¬basharu wa ma thaghaa" (Penglihatannya tidak berpaling dari apa yang dilihatnya itu, dan tidak pula melampauinya). (QS. An ¬Najm: 17). Tidakkah Musa As lemah lunglai ketika atribut-¬atribut ilahi nampak olehnya melalui gunung yang hancur luluh? Dan beliau hanya dapat mendengar suara Tuhannya tanpa bisa melihat. Sebagaimana termaktub dalam firman Allah Swt pada surat AI A'raf ayat 143:
ولما جاء موسي لميقاتنا وكلمه ربه قال رب أرني أنظر اليك، قال لن تراني ولكن انظر الي الجبل فان استقر مكانه فسوف تراني، فلما تجلي ربه للجبل جعله دكا وخر موسي صعقا، فلما أفاق قال سبحانك تبت اليك وأنا أول المؤمنين.
"Dan tatkala Musa datang untuk munajat kepada Kami pada waktu yang telah Kami tentukan, dan Tuhannya telah berfirman langsung kepadanya. Musa berkata: "Ya Tuhanku, nampakkanlah diri Mu kepadaku agar aku dapat melihat Engkau. Allah berfirman: "Kamu sekali kali tidak akan sanggup melihat Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya sebagai sedia kala, niscaya kamu dapat melihat Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan kekuasaan-¬Nya di gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Mu dan aku orang yang pertama tama beriman.” (QS. 7:143).
Sedangkan Nabi Muhammad Saw tanpa mengalihkan matanya, telah mengalami melihat Allah "fa kaana Qaaba qawsaini aw adnaa" (Maka jadilah Dia dekat kepada Muhammad sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi). (QS. An Najm: 9) Oleh karenanya, hal ini sangat dikuduskan oleh para penyair sufi dengan hiperbola hiperbola yang amat berani dan penggambaran yang amat berlebilian. Barangkali gambaran yang amat ringkas tentang peristiwa ini diberikan oleh Jamali Kanboh, seorang penyair Indo Persia abad ke 15, yang mengungkapkan misteri ini dalam bait syairnya yang terkenal:
“Musa pingsan kala Sifat sifat Allah menjelma,
namun kau tersenyum kala melihat dzat NYA.”
Suatu hal yang belum banyak kita singgung dalam peristiwa mi'raj ini adalah, hadis hadis yang menceritakan tentang kehidupan alam barzakh, baik yang mendapat nikmat dan kebahagian, atau pun yang mendapatkan penyiksaan yang amat pedih dan memilukan. Di sana Rasulullah menyaksikan bagaimana tingginya derajat orang orang yang taat dan mengamalkan perintah Allah Swt. Di samping itu, Rasulullah pun melihat bagaimana terhinanya orang orang yang sombong dan enggan untuk melaksanakan perintah Allah, serta gemar melakukan hal hal yang tercela dan diharamkan Allah.
Di sana Rasulullah menyaksikan orang orang yang memusuhi agama, orang orang kafir, zhalim dan munafik, orang orang yang selalu mengatakan kebenaran tapi tidak melakukan, orang orang yang suka mencela, para penzina, pemakan harta anak yatim, pemakan riba, pengkhianat, dan banyak lagi bentuk kejahatan yang mendapat siksaan dari Allah atas kejahatan yang mereka lakukan.
Di sainping itu, Rasulullah pun menyaksikan sekelompok orang beriman dari setiap masa mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan atas amal kebaikan yang mereka lakukan di dunia. Dimana dalam suatu perjalanannya itu, Rasulullah menemui bau yang sangat wangi. Kemudian beliau bertanya kepada Jibril, bau apakah ini wahai Jibril? Jibril menjawab: “Ini adalah bau Masyithah (pengasuh anak fir'aun) dan keluarganya.”
Barangkali ada orang yang akan bertanya, bagaimana mungkin seorang yang hidup bisa melihat kehidupan orang orang mati? Sebagai jawaban dari pertanyaan ini, kita mengatakan, bahwa peristiwa Isra' dan mi'raj ini adalah sebuah rihlah ilahiyah (perjalanan yang diatur Tuhan) yang khusus untuk nabi Muhammad saw. Dimana tidak akan ada sulitnya bagi Allah Swt untuk merubah sebuah kondisi yang bersifat materi kepada sebuah kondisi yang bersifat rohani atau sebaliknya. Sebagaimana mudahnya perpindahan arwah orang mati dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Hanya orang yang mempunyai penyakit hatilah yang selalu meragukan tentang kemahakuasaan Allah terhadap hal hal yang mereka anggap mustahil menurut akal mereka yang sangat terbatas.
3. Di Sidratul Muntaha (MelihatAllah)
Setelah menyaksikan berbagai macam peristiwa dalam perjalanan mi'raj ke langit tersebut, akhirnya Rasulullah dan malaikat Jibril melampaui langit yang ketujuh dan sampai ke suatu tempat yang bernama Sidratul Muntaha. Di sinilah Rasulullah melihat ayat ayat ilahiyah yang tidak bisa disifati. Dan di sini juga Rasulullah melihat Jibril berubah bentuk secara tiba tiba. Jibril muncul dalam bentuknya yang asli sebagaimana diciptakan oleh Allah swt.
Di Sidratul Muntaha ini pula Jibril mengatakan kepada Rasulullah, Wahai Rasulallah, Saya mohon ma'af, karena hanya sampai disini saja saya bisa naik bersama anda. Jika saya naik lebih dari ini vvalaupun selangkah, maka niscaya saya akan terbakar. Masing masing dari kita mempunyai kekuatan, tempat dan derajat tertentu. Maka dari itu, majulah engkau terus melanjutkan perjalanan Mi'rajmu yang diberkahi ini. Majulah engkau terus dengan cahayamu yang mulia. Rasulullah Saw terus maju, beliau hanya maju sendiri menemui Tuhan, yang akhirnya hijab hijab penutup seluruhnya menjadi tersingkap, dan hanya tinggal satu hijab, di sinilah Rasulullah melihat apa yang belum pernah dilihat oleh mata, dan belum pernah terbayang oleh hati manusia. Mata kasar Rasulullah tidak mampu menahan kekuatan cahaya ilahiyah ini, akhirnya Allah membukakan mata hati Rasulullah, untuk menyaksikan keindahan yang tiada berujung ini. Allah mendekatkan Rasulullah ke 'Arsy Nya, hinggalah menjadi "fa kaana qooba qowsaini aw adnaa" Maka jadilah Dia dekat dengan Muhammad sejarak dua ujung busur panah, atau Iebih dekat lagi). (QS. 53:9).
Ketika Rasulullah menyaksikan cahaya Tuhannya, beliau berucap: "Attahiyyaatu lillaah was sholawaatut thayyibaat" (Segala puji bagi Allah dan penghormatan yang setinggi tingginya). Kemudian Allah pun membalas ucapan mulia ini: "Assalaamu 'alaika ayyuhan Nabiy warahmatullahi wabarakaatuh" (Keselamatan atasmu wahai Nabi, rahmat dan berkat Allah untukmu). Selanjutnya para Malaikat pun berkata: "Assalaamu 'alaina wa 'ala 'ibaadillaahis shalihin" (Keselamatan atas kita semua dan atas hamba hamba Allah yang sholeh).
Rasulullah tak henti hentinya memuji Allah dengan segala bentuk pujian dan do'a. Tentang hal ini, Allah Swt berfirman:
ثم دني فتدلي فكان قاب قوسين أو أدني. فأوحي الي عبده ما أوحي.
"Kemudian dia mendekat, Ialu bertambah dekat lagi. Maka jadilah Dia dekat pada Muhammad sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi. Lalu Dia menyampaikan kepada hamba Nya (Muhammad) apa yang telah Dia wahyukan”.(QS: 53: 8 10).
Tentang pertemuan Rasulullah dengan Tuhannya ini, Dr. Abdul Halim Mahmud, dalam bukunya "Dalâilun ¬Nubuwwah wa Mu jizâtir Rasur” mengatakan: "Oleh karena Muhammad Saw merupakan Rasul yang paling sempurna, maka sewajarnyalah ia menjadi rasul yang paling dekat kepada Allah Swt. Dimana beliau telah menjelajahi bumi dan langit tertinggi, melampaui seluruh alam materi, dan sampai ketempat yang tidak pernah tercapai oleh manusia manapun, bahkan ke suatu tempat yang tidak bisa di capai oleh Jibril As sekalipun. Beliau telah melihat tanda tanda kebesaran Tuhannya yang Maha Besar. Adapun tentang bagaimana hakekat kedekatan dan penglihatan Rasulullah terhadap Tuhannya ini, tidak ada yang lebih tahu kecuali Allah dan Rasul Nya.
4. Kembali ke Mekah
Setelah berakhirnya pertemuan antara dua kekasih ini, maka tibalah saatnya bagi Rasul untuk kembali ke bumi. Dan sebagai penghormatan bagi Rasulullah Saw, beliau turun ke bumi diiringi oleh para rasul Allah yang lain hingga sampai ke Baitul Maqdis. Selanjutnya beliau kembali mengendarai Buroq untuk kembali ke Mekah, dan suasana gelap malam masih meliputi bumi dikala beliau sampai di Mekah. Namun, sedikit demi sedikit cahaya fajar pun mulai berkilau, yang akhirnya mentari pagi pun mulai menyingsing di ufuk timur, pertanda suatu kehidupan mulai bergerak di seluruh penjuru kota Mekah.
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Ibnu Abbas, Rasulullah mengatakan: "Tatkala malam telah berlalu, pagi pun menjelang, seolah Mekah sangat terkejut menerima kenyataanku, dan aku pun tahu bahwa penduduknya mendusta¬kanku". Selanjutnya Rasulullah berkata: "Maka datanglah Abu Jahal, dan ia duduk di sampingku, dengan mengajukan pertanyaan yang bernada mengolok: “Apakah terjadi sesuatu?” Rasulullah mengatakan: "Ya". la berkata: “Peristiwa apa itu?” "Allah telah memperjalankanku pada malam ini." “Kemana?” kata Abu Jahal. "Ke Baitul Maqdis" jawab Rasulullah. "Kemudian engkau berada diantara kami pada pagi ini?" kata Abu Jahal semakin mengolok. "Ya", jawab Rasulullah. “Bagaimana pendapatmu bila aku kumpulkan penduduk Mekah, kemudian engkau sampaikan apa yang telah engkau sampaikan kepadaku?' kata Abu Jahal dengan perasaan mengejek. "Boleh" jawab Rasulullah dengan tenang.
Akhirnya Abu Jahal berkeliling di jalan jalan kota Mekah, sambil berteriak memanggil kawan kawannya kaum Qurays dengan suara lantang: "Wahai seluruh Kaum Qurays!” cepatlah berkumpul untuk mendengarkan sebuah berita aneh dari Muhammad pada pagi hari ini." Kemudian ia mendatangi para sahabat Rasul yang telah beriman Kepada beliau, sambil mengejek berkata kepada mereka: "Wahai kalian yang beriman kepada Muhammad, yang membenarkan ucapannya, dengarlah apa yang dikatakan oleh sahabat kalian Muhammad pada pagi hari ini. Supaya kalian tahu, bahwa sahabat kalian itu telah dihinggapi penyakit linglung dan gila!”
Seluruh penduduk Mekah akhirnya keluar dari rumah mereka, dan berkumpul di sekitar Abu Jahal. Di antara mereka terdapat sahabat Rasulullah yang telah beriman. Namun mayoritasnya adalah kaum musyrikin penyembah berhala, yang ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi dibalik teriakan Abu Jahal ini. Seluruh mata tertuju kepada Abu Jahal, bertanya-¬tanya. Kabar aneh apa kiranya yang akan dikatakan.
Di tengah kerumunan orang ramai itu, Abu Jahal mulai berteriak kepada mereka: "Berapa lama kira kira perjalanan dari negeri kita ini ke Palestiana? Mereka serentak menjawab: "Dua bulan!, satu bulan pergi dan satu bulan lagi untuk perjalanan pulang." Abu Jahal berkata lagi: "Akan tetapi Muhammad telah menyampaikan kabar yang sangat aneh, pada pagi ini ia memyampaikan kepadaku, bahwa ia telah mengadakan perjalanan dari Mekah ini ke Baitul Maqdis di Palestina tadi malam, dan kembali ke Mekah pada malam ini juga". Mendengar hal itu, secara spontan bergemuruh suara-suara ejekan dari pengikut Abu Jahal, diiringi nada penghinaan yang diselimuti rasa kebencian. Dan tergambar dari wajah wajah mereka, senyuman sinis terhadap para pengikut Rasulullah yang telah menyatakan iman, seraya mengatakan: "Bagaimana pendapat kalian tantang apa yang telah disampikan oleh sahabat kalian itu?" Tidak ada yang bisa diperbuat oleh para sahabat Rasul, kecuali terpaku diam, dan pergi menemui Rasulullah untuk meminta keterangan yang sebenarnya.
Buku buku sirah nabawiyah (perjalanan hidup Nabi) mengatakan, bahwa pada hari terjadinya peristiwa ini, ada beberapa orang yang telah menyatakan Islam, akan tetapi masih memiliki iman yang lemah, menjadi murtad dari agama Islam, dan kembali menganut agama berhala. Secara ramai ramai penduduk Mekah segera menemui Abu Bakar Ra dan mengatakan kepadanya: "Wahai Abu Bakar, bagaimana pendapatmu tentang apa yang telah disampaikan oleh sahabatmu Muhammad? la mengatakan bahwa tadi malam ia pergi ke Baitul Maqdis dan shalat di sana dua rakaat, kemudian kembali ke Mekah ini pada malam yang sama?" Abu Bakar menjawab: "Sungguh kalian membuat kebohongan atas Muhammad! Mereka mengatakan: "Tidak, hal ini benar-¬benar telah disampaikannya di hadapan orang ramai". Abu Bakar kembali menjawab: "Demi Allah! Jika sesungguhnya hal ini memang Muhammad yang mengatakan, maka hal itu adalah benar. Dan Demi Allah! Sesungguhnya dia telah menyampaikan kepadaku, bahwa dia telah menerima wahyu dari langit baik siang maupun malam, lantas aku mempercayainya. Apalagi hanya sekedar berita yang kalian bawa ini!”
Abu Bakar Ra bersama orang ramai tersebut, pergi ke tempat Rasulullah berada. Beliau bertanya kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, orang orang ini telah menceritakan kepadaku bahwa engkau telah mengunjungi Baitul Maqdis pada malam ini". "Benar!", jawab Rasulullah.
Sebagian orang musyrik yang telah berulang kali pergi ke Baitul Maqdis untuk berdagang, ingin menguji kebenaran ucapan Rasulullah Saw, lantas mereka mengatakan: "Jika engkau benar benar telah melihat Baitul Maqdis itu kemarin, coba gambarkan kepada kami bentuknya? Karena kami adalah orang yang paling tahu tentang hal itu. Agar Rasulullah bisa menggambarkan bentuk Baitul maqdis itu secara rinci, Allah Swt meletakkan gambaran Baitul Maqdis itu di hadapan mata Rasulullah secara jelas, dan gambaran ini hanya dilihat oleh Rasulullah sendiri.
1). Pelajaran Penting Dari Isra Mi'raj
Diantara hikmah dan pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa Isra dan mi'raj ini, sebagaimana disebutkan oleh Dr. Said Ramadhan Al Buty adalah:
1. Kedudukan Isra dan Mi'raj:
Rasulullah telah merasakan berbagai cobaan dan penyiksaan dari kafir Qurays selama berdakwah di Mekah, dan penyiksaan terakhir yang dirasakan oleh Rasulullah adalah ketika beliau berdakwah ke Thaif, dimana para penduduknya melempari baginda Rasul yang mulia dengan batu, sehingga kedua kaki beliau berlumuran darah. Dengan berbagai penyiksaan ini, Rasulullah tidak pernah berputus asa dari perjuangan dakwah, dan tidak pernah menyesali sikap manusia yang menolak dakwahnya. Hanya ada satu hal yang ditakuti Rasulullah di dalarn kehidupannya, yaitu kemurkaan Allah. Hal. ini tergambar dari do'a yang beliau baca ketika itu "In lam yakun bika ghadhabun 'alayya fala ubaly" (Asalkan Engkau tidak murka kepadaku ya Allah, aku tidak perduli dengan berbagai penyiksaan ini).
Maka peristiwa Isra dan Mi'raj yang dialami Rasulullah, merupakan sebuah penghargaan dan kemuliaan tertinggi yang diberikan Allah kepada beliau. Disamping juga untuk memperbaharui tekad dan semangat beliau di dalam mengemban risalah dakwah. Dan hal ini merupakan dalil, bahwa berbagai musibah menyedihkan yang dialami Rasulullah selama ini, bukanlah karena kemurkaan dan kemarahan Allah kepada beliau. Akan tetapi merupakan sunnatullah dan sunnah dakwah sepanjang zaman.
2. Makna yang terkandung dari Isra ke Baitul Maqdis
Waktu Isra Nabi ke Baitul Maqdis yang bersamaan dengan mi'raj beliau ke langit merupakan pertanda akan kesucian dan keagungan Baitul Maqdis di sisi Allah swt. Selain itu juga menunjukkan adanya hubungan yang erat antara risalah yang dibawa oleh Nabi Isa As dan risalah Nabi kita, Muhammad saw.
Perjalanan tersebut juga mengisyaratkan akan kewajiban yang diemban oleh setiap muslim kapan pun juga, untuk memelihara kesucian tanah Isra dan menjaganya dari para intaian musuh yang ingin merampasnya dari tangan ummat Islam dengan tanpa ada rasa rendah diri dalam memperjuangkannya.
Siapa sangka jika kelak dengan Isra mi'raj ini Shalahuddin al Ayyubi berjuang dengan pasukannya untuk membebaskan Al Quds dari tangan Pasukan Salib, dan membentengi tanah suci ini dari serangan balasan mereka.
3. Hikmah Rasulullah memilih susu, bukan angggur
Rasulullah memilih susu, ketika Jibril memberikan alternatif antara susu dengan anggur. Hal ini menunjukkan bahwa Islam itu adalah agama fitrah. Yaitu agama yang menetapkan kesesuaian antara akidah dan hukum-¬hukumnya dengan fitrah asli manusia itu sendiri. Maka tidak akan didapati dalam agama Islam, hal hal yang bertentangan dengan fitrah manusia. Andaikan saja fitrah itu merupakan materi yang mempunyai ukuran panjang dan Iebar, maka agama Islam merupakan pakaian yang sesuai dengan fitrah itu. Inilah barangkali rahasianya mengapa Islam itu bisa menyebar luas dengan cepat dipermukaan bumi ini. Sebab, betapa pun tinggi peradaban dan kemajuan manusia dalam bidang materi, ia akan selalu merasakan adanya suatu kekurangan dalam dirinya. Dan Islamlah satu-¬satunya yang mampu menjawab dan mengisi kekurangan yang dirasakan oleh umat manusia itu, dari golongan manapun ia berada.
4. Isra dan Mi'raj berlangsung dengan ruh dan jasad
Dalam hal ini mayoritas (Jumhur) ulama sepakat, baik ulama para pendahulu (salaf) maupun dari periode berikutnya (khalaf), bahwa Isra dan Mi'raj telah terjadi dengan jasad dan ruh Nabi Muhammad saw. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Rasulullah pergi Isra dan Mi'raj hanya dengan ruhnya semata, adalah datang dari para orieritalis barat yang diadopsi oleh sebagian pengkaji Muslim yang silau dengan metode pemikiran barat, atau mereka yang mendahulukan rasio daripada teks wahyu dan Hadist.
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan: “Mayoritas ulama salaf dan khalaf, baik ahli fiqih, ahli hadis, ahli kalam, ahli tafsir maupun Iainnya, sepakat bahwa perjalanan Isra dan Mi'raj yang dilakukan oleh Rasulullah saw adalah dengan ruh dan jasadnya sekaligus. Karena kalau diteliti ayat ayat Al Qur'an dan hadist nabi tentang hal ini hanya menunjukkan pengertian yang demikian, dan tidak bisa ditakwil dengan arti lain. Adapun dalil nyata untuk itu adalah bahwa orang orang musyrikin Mekah sangat terkejut mendengar peristiwa ini, dan langsung mengingkari peristiwa itu. Kalau saja mereka mendengar dari Muhammad bahwa Isra mi'raj itu hanya sekedar perjalanan ruh saja dan hanya dalam mimpi umpamanya, maka tidak akan sebesar itu reaksi dan keterkejutan mereka yang penuh pengingkaran terhadap peristiwa ini. Karena kalau hanya terjadi dalam mimpi tentunya boleh boleh saja terjadi, bahkan tidak menutup kemunkinan untuk terjadi terhadap orang kafir sekalipun. Dan juga kalau halnya begitu, niscaya mereka tidak akan menanyakan kepada rasulullah tentang bentuk Baitul Maqdis dengan maksud penentangan yang menjatuhkan, atau menguji tentang suatu kebenaran.
5. Kehidupan para nabi dan syuhada setelah mati
Dari peristiwa Isra dan Mi'raj ini, dapat kita lihat banyak sekali hadis hadis yang menunjukkan bahwa para nabi terdahulu masih hidup di alam lain. Dimana Rasulullah bertemu dengan nabi Adam, Ibrahim, Musa, Isa dan yang lainnya.
Hal ini bukan hanya dialami para nabi saja, akan tetapi juga para syuhada, yaitu orang yang mati dalam memperju¬angkan syiar agama Allah (fi sabilillah). Seperti dinyatakan oleh firman Allah Swt dalam Surat Al Baqarah ayat: 154:
ولا تقولوا لمن يقتل في سبيل الله أموات بل أحياء ولكن لا تشعون (البقرة: 154).
"Dan janganlah kamu mengatakan tentang orang orang yang gugur di jalan Allah --bahwa mereka-- itu mati; mereka adalah benar benar hidup, tetapi kamu tidak merasakan¬nya”. (QS. 2: 154).
Dalam ayat lain Allah Swt berfirman:
"Barang siapa mentaati Allah dan Rasul Nya, mereka itu akan bersama sama dengan orang orang yang dianugerahi nikmat Allah, yaitu: para nabi, orang orang yang benar, para syuhada dan orang orang shaleh. Mereka itulah teman yang sebaik baiknya”.
E. Penutup
Semoga tulisan sederhana ini dapat menjadi bahan renungan bagi kita, untuk menyimak kembali peristiwa besar yang pernah terjadi dalam perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw. Dimana dengan peristiwa Isra dan Mi'raj inilah, diantaranya Allah Swt memperlihatkan mana orang yang benar benar beriman, dan mana pula yang hanya sekedar mengaku beriman, dan menjadi kafir setelah mendapat ujian dari Allah. Dalam peristiwa ini pula, shalat fardhu lima waktu sehari semalam yang senantiasa kita laksanakan diwajibkan oleh Allah swt. Serta masih banyak lagi berbagai hikmah dan pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa Isra dan Mi'raj yang sangat bersejarah ini.
Demikianlah ceramah singkat tentang Isra dan Mi’raj kali ini, semoga ada manfaat dan faidahnya bagi kita bersama. Saya akhiri dengan “wal ‘afwu minkum, Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”. Wallahu a'lam...
Sabtu, 20 November 2010
Al-QUR'AN DI HATI SEORANG MUSLIM
Bukankan Allah SWT itu Maha Penyayang dan sangat menyayangi umat beriman ?
Bukankan Allah SWT itu Maha berkuasa dan mampu menjayakan kaum muslimin ?
Bukankan Al Qur’an yang kita baca dalam sholat kita adalah sumber kebahagiaan, kejayaan, kemakmuran bagi yang mengamalkannya ?
Bukankah kaum muslimin itu umat yang terbaik yang diutus untuk memimpin bukan dipimpin umat lain, mendidik bukan dididik umat lain ?
Bukankah umat Islam dijadikan Allah SWT sebagai umat yang satu ?
Terus kalau kita ingin memproyeksikan hakekat di atas dengan kondisi kaum muslimin pada masa kini maka hasilnya akan menuntut kita untuk lebih merenung, dimana kejayaan kaum muslimin ?, dimana harga diri kaum muslimin, bahkan dimana harga darah seorang muslim di mata kaum muslimin sendiri ?, dimana kepemimpinan, kejayaan kaum muslimin diatas kaum yang lainnya ?, dimana solidaritas sesama kaum muslimin, alam skala nasional, regional maupun internasional?
Kemudian saya membaca ayat ini :
)أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ) (الحديد:16)
"Belumkah sampai waktunya orang-orang beriman khusu’ hati mereka untuk ingat Allah SWT dan berdzikir dengan kebenaran yang Allah SWT turunkan dan janganlah mereka seperti orang-orang yang diberi kitab sebelum mereka dan lewatlah masa panjang atas mereka (tidak membaca kitab mereka) maka mengeraslah hati mereka dan kebanyakan mereka orang fasiq”.
Dan merenungi rintihan Rasulullah kepada Robbnya dengan mengatakan :
Dan merenungi rintihan Rasulullah kepada Robbnya dengan mengatakan :
)وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُوراً) (الفرقان:30)
"Berkatalah Rasul wahai Robbku sungguh kaumku telah menjadikan Alquran ini sesuatu yang ditinggalkan”.
Ditinggalkan karena mereka tak membacanya, atau tidak mau merenungi ma’nanya atau tidak mau mengamalkan isinya.
Yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan diatas adalah kita bersama merenungi sambutan Rasululloh dan para sahabat terhadap Al Qur’an dan bagaimana kedudukan Al Qur’an dihati mereka.
Bagaimana Al Qur’an dihati RasulAllah SWT dan para sahabat ?
Pertama : para sahabat memandang kebesaran Al Quran dari kebesaran yang menurunkannya, kesempurnaannya dari kesempurnaan yang menurunkannya, mereka memandang bahwa Al Qur’an turun dari Raja, Pemelihara, Sesembahan yang Maha Perkasa, Maha Mengetaui, Maha Kasih Sayang, sebagaimana ditekankan oleh Allah SWT dalam berbagai permulaan surat :
} تنـزيل الكتاب من الله العزيز الحكيم{ سورة الزمر، الجاثية، الأحقاف، }تنـزيل الكتاب من الله العزيز العليم { سورة المؤمن، } تنـزيل من الرحمن الرحيم{ سورة فصلت } كذلك يوحي إليك وإلى الذين من قبلك الله العزيز الحكيم ،له ما في السموات وما في الأرض وهو العلي العظيم { سورة الشورى
Dari pandangan ini mereka menerima Al Qur’an dengan perasaan bahagia campur perasaan hormat siap melaksanakan perintah dan perasaan cemas dan harapan, serta perasaan kerinduan yang amat dalam, bagaimana tidak ?, karena orang yang membaca Al Qur’an berarti seakan mendapat kehormatan bermunajat dengan Allah SWT sekaligus seperti seorang prajurit menerima perintah dari atasan dan seorang yang mencari pembimbing mendapat pengarahan dari Dzat yang maha mengetahui. Dan perasaan inilah yang digambarkan oleh Allah SWT dalam Firmannya :
} أولئك الذين أنعم الله عليهم من النبيين من ذرية آدم وممن حملنا مع نوح ومن ذرية إبراهيم وإسرائيل وممن هدينا واجتبينا إذا تتلى عليهم آيات الرحمن خروا سجدا وبكياً{(سورة مريم الآية : 58 )
"Mereka orang-orang yang Allah SWT berikan kenikmatan kepada mereka dari para nabi dari keturunan Adam dan dari orang yang kami bawa bersama Nuh dan dari keturunan Ibrohim dan Israel (Ya’qub) dan dari orang yang yang kami beri petunjuk dan kami pilih jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat yang Maha Penyayang mereka berrsungkur dalam kondisi sujud dan menangis”.
} إن الذين أوتوا العلم من قبله إذا يتلى عليهم يخرون للأذقان سجداً ويقولون سبحان ربنا إن كان وعد ربنا لمفعولاً ويخرون للأذقان ويزيدهم خشوعاً { سورة الإسراء 107-109
"Sesungguhnya orang-orang yang diberi ilmu sebelumnya jika dibacakan atas mereka (ayat-ayat Allah SWT) mereka tersungkur dengan dagu-dagu mereka dalam kondisi sujud, mereka berkata maha suci Robb kami sungguh janji Robb kami pasti terlaksana mereka tersungkur dengan dagu-dagu mereka dalam kondisi menangis dan menambahi mereka kekhkusu’an”.
Dari perasaan diatas menyebabkan Umu Aiman menangis ketika teringat akan wafatnya Rasululloh. Suatu saat Abu Bakar dan Umar berkunjung kepada ibu asuh RasulAllah SWT Ummu Aiman dan ketika mereka duduk, menagislah Ummu Aiman karena teringat wafatnya RasulAllah SWT maka berkatalah Abu Bakar dan Umar, “Kenapa anda menangis sementara Rasululloh mendapatkan tempat yang mulia” ? Ummu Aiman menjawab, "Saya menangis bukan karena meninggalnya beliau melainkan karena terputusnya wahyu Allah SWT yang datang kepada beliau pada pagi dan petang hari", maka saat itu pula meledaklah tangisan mereka bertiga .
Dari perasaan diatas para sahabat membaca dan menerima Al Qur’an untuk dilaksanakan secara spontan tanpa menunggu-nunggu dan tanpa sedikit protes walau-pun hal itu bertentangan dengan kebiasaan mereka, tapi mereka bisa menundukkan perasaan mereka dengan cinta mereka kepada Allah SWT.
Ketika turun perintah untuk memakai jilbab pada surat Al Ahzab : 59, malam hari RasulAllah SWT menyampaikan ayat itu kepada para sahabat, pagi harinya para istri sahabat sudah memakai jilbab semua, bahkan `Aisyah mengatakan, "Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshor mereka diperintah pakai hijab pada malam hari sementara pada paginya mereka sudah memakainya bahkan ada yang merobek ordeng / kelambu mereka untuk dipakai jilbab".
Ketika diharamkannya khomer dan ayat itu sampai kepada mereka, saat itu juga langsung mereka membuang simpanan khomernya dan menuang apa yang masih di tangannya.
Salah satu rahasia keajaiban para sahabat dalam berinteraksi dengan Al Qur’an adalah keimanan mereka kepada Allah SWT, surga dan neraka-Nya, kepada janji-Nya sehingga mereka melakukan sesuatu yang apabila dilihat oleh orang yang tak memahami latar belakang ini akan sulit menafsirkannya.
Seperti ketika mereka membaca tentang janji Allah buat orang-orang yang berjihad karena cinta Allah, seorang sahabat yang bernama Umair bin Hamam sedang makan korma bertanya wahai Rasululloh, “Dimana saya kalau saya mati dalam perang ini ? Rasululloh menjawab "Di sorga", berkatalah Umair : "Sungguh menunggu waktu masuk surga sampai menghabiskan makan kurma tujuh biji ini adalah sangat lama”, dan ahirnya dibuanglah sisa kurma yang belum dimakan dan langsung maju perang sampai menemui syahidnya.
Kondisi keimanan yang tinggi ini menjadi episode kehidupan mereka menjadi bagian dari yang diceritakan oleh Allah dalam Al Qur’an, Hal itu seperti perhatian orang-orang Anshor terhadap orang-orang muhajirin atau perhatian mereka terhadap orang-orang yang lemah, seperti yang Allah ceritakan dalam surat Al Hasyr dimana Rasulullah kedatangan tamu dan beliau tidak memiliki sesuatu untuk menjamunya, akhirnya beliau tawarkan hal itu kepada sahabatnya siapa yang bersedia membawa tamu beliau, dengan sepontan salah satu sahabat bersedia, tetapi ketika sampai rumah ternyata istrinya bilang bahwa tidak ada persediaan makanan kecuali makan malam anaknya, maka sahabat tadi memerintahkan istrinya untuk mengeluarkan makanan tadi untuk tamunya dan mengeluarkan dua piring dan segera mematikan lampu ketika tamunya sedang makan, tamunya makan dan tuan rumah menampakkan seakan-akan makan agar dia bisa makan dengan enak, ketika sampai pagi hari sahabat tadi bertemu dengan rasul dan beliau bilang kalau Allah heran dengan apa dia lakukan maka turunlah firman Allah SWT ayat sembilan surat al Hasyr.
Kedua : Rasululloh dan para sahabat memandang Al Qur’an sebagai obat bagi segala penyakit hati dan ketika mereka membaca Al Quran yang berbicara tentang segala kelemahan hati, penyakit hati, mereka tidaklah merasa tersinggung bahkan mereka berusaha mengoreksi hati mereka dan membersihkan segala sifat yang dicela oleh Al Qur’an dan berusaha bertaubat dari apa yang dikatakan buruk oleh Al Qur’an .
Maka sudah pantaslah ketika Al Qur’an banyak menceritakan sifat-sifat munafiqin mulai dari malas sholat, dzikir sedikit, pengecut, mengambil orang kafir sebagai pemimpin dan lain-lainnya, para sahabat segera mengkoreksi hati mereka dan mencari obatnya walaupun mereka tidak dihinggapi penyakit itu, berkatalah Abdulloh ibnu Mulaikah :
أدركت سبعين من أصحاب محمد e كلهم يخافون من النفاق.
“Aku mendapatkan tujuh puluh dari sahabat nabi, mereka semua takut kalau terkena penyakit nifaq”.
Ketika sahabat Handholah merasa adanya fluktuasi imannya segeralah ia datang kepada RasulAllah SWT dengan mengatakan “Ya RasulAllah SWT nifaqlah Handholah”, berkatalah Rasul Allah SWT : Kenapa ? Handlolah menjawab: “Wahai Rasul Allah SWT kalau saya disamping engkau dan engkau ingatkan kami dengan sorga dan neraka, jadilah sorga dan neraka seakan-akan jelas dimata kami, tapi jika kami pulang dan bergaul dengan anak istri serta sibuk dengan harta kami, kami banyak lupa, bersabdalah RasulAllah SWT, “Wahai Handholah kalau kalian berada dalam kondisi seperti itu (seakan melihat sorga dan neraka) terus menerus pastilah para malaikat menyalami kalian dijalan-jalan kalian”.
Dari sensitifitas perasaan Handholah dalam berinteraksi dengan Al Qur’an, ia bisa mengalahkan pe-rasaan ingin dekat dengan istrinya pada malam pertama dan ditinggalkannya untuk berjihad sampai syahid padahal ia belum sempat mandi junub, sehingga Rasululloh ber-sabda bahwa ia dimandikan oleh para malaikat .
Ketiga :
Ma’qil bin Yasar pernah menikahkan adik perempuannya dengan salah seorang sahabat, tapi kemudian di cerainya sampai habis masa iddahnya, kemudian bekas suami tadi melamar lagi dan karena Ma’qil sedang marah beliau tolak lamarannya dan bertekat tidak akan mengawinkannya, padahal adiknya juga masih cinta dengan bekas suaminya serta ingin kembali kepadanya. Dengan kejadian ini Allah menurunkan ayat :
)وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ) (البقرة:232)
Setelah turun ayat ini Ma’qil langsung menikahkan adiknya lagi dengan sahabat mantan suamiya .
Sahabat hidup dengan misi, “Risalah menyelamat-kan seluruh manusia dari perbudakan manusia untuk manusia menuju penghambaan Allah yang Esa dan mengeluarkan mereka dari kedhaliman sistim manusia menuju keadilan Islam dari kesempitan dunia menuju keluasan dunia dan akherat”, dan pastilah kaum yang membawa misi demikian ada pendukung dan musuhnya, maka mereka menjadikan Al Qur’an sebagai pembimbing untuk mengetahui musuh-musuh Allah SWT, dan musuh mereka, siapa wali-wali mereka dan wali-wali Allah SWT dan mereka memperlakukan manusia sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Allah SWT, mereka cinta terhadap ayah, anak, istri, serta kerabat mereka. Tetapi jika yang dicintai itu memusuhi Allah SWT dan Rasul-Nya serta membenci Islam, maka mereka segera merubah sikapnya dengan hanya memihak Allah SWT dan mencabut perasaan cintanya kepada selain Allah, Allah berfirman :
}لا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْأِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ) (المجادلة:22)
“Tidaklah engkau dapatkan kaum yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir mencintai orang-orang yang membangkang kepada Allah SWT dan rasul-Nya, walaupun mereka itu ayah-ayah mereka atau anak-anak mereka atau saudara–saudara mereka atau kerabat-kerabat mereka, mereka itulah orang yang Allah SWT tetapkan dihati mereka keimanan”.
Ayat ini turun berkenaan ketika Abu Ubidah bin Jaroh ketika membunuh ayahnya di perang Badar karena ayahnya bersama pasukan kuffar Quraisy .
Keempat : Para sahabat memandang bahwa seluruh alam semesta dan diri mereka adalah ciptaan Allah SWT dan tidak mungkin membudidayakan alam semesta serta mengatur mereka kecuali Dzat yang menciptakannya sehingga mereka meyakini bahwa keimannya menuntut untuk menjadikan Al Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak dipisahkan antara satu sama lainnya, mereka men-jadikan Al Quran sebagai way Of live –pedoman hidup- mereka dan mereka sangat sensitif terhadap usaha-usaha yang akan memisahkan satu bagian sistim Islam dengan bagian yang lainnya.
Pantaslah kalau Kholifah Abu Bakar berpidato ketika banyak orang yang murtad dan tidak mau membayar zakat, dengan mengatakan :
أينقص الدين وأنا حي !! والله لو منعوني عقالاً كانوا يؤدونه إلى رسول الله e لقاتلتهم على منعه رواه مسلم .
“Apakah agama ini akan dikurangi padahal saya masih hidup, demi Allah SWT kalau mereka menghalangi tali yang mereka serahkan kepada RasulAllah SWT pastilah aku perangi mereka atas keengganannya”.
Mereka menyadari betul adanya perbedaan antara orang yang belum mampu melaksanakan, dengan orang yang sengaja memilih-milih apa yang mau dilakukan dan apa yang ditolak.
Yang pertama masih dalam ruang lingkup iman seperti Raja Habsyi yang disholati ghoib oleh RasulAllah SWT, padahal ia belum melaksanakan hukum Islam, karena belum mampu. Adapun yang sengaja pilih-pilih seperti memilih beras, mereka mencap orang tersebut sudah keluar dari Islam atau munafiqin sebagaimana yang Allah SWT firmankan :
} أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ{ (البقرة: من الآية85)
“Apakah kalian beriman dengan sebagian kitab dan kafir terhadap sebagian yang lain? Tidaklah balasan orang yang melakukan demikian kecuali kehinaan didunia dan dihari qiamat mereka dikembalikan ke adzab yang sangat keras. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
Keuniversalan dan keintegralan Al Qur’an ini digambarkan oleh sahabat Ali bin Abi Tholib dalam ucapannya :
هو كتاب الله فيه نبأ من قبلكم ،وخبر ما بعدكم وحكم ما بينكم هو الفصل ليس بالهزل من تركه من جبار قصمه الله ومن ابتغى الهدى في غيره أضله الله وهو حبل الله المتين وهو الذكر الحكيم وهو الصراط المستقيم وهو الذي لا تزيغ به الأهواء، ولا تلتبس به الألسنة ولا يشبع منه العلماء ولا يخلق عن كثرة الردّ ولا تنقضي عجائبه وهو الذي لم تنته الجن إذا سمعته حتى قالوا } إنا سمعنا قرآناً عجباً، يهدى إلى الرشد فآمنا به { من قال به صدق ومن عمل به أجر ومن حكم به عدل ومن دعا إليه هدي إلى صراط مستقيم .
“Dia adalah Kitabulloh yang di dalamnya ada berita orang sebelum kalian, kabar apa yang terjadi setelah kalian, hukum diantara kalian, dia adalah keputusan yang serius bukan main-main, barang siapa meninggalkannya dengan kesombongan pasti dihancurkan oleh Allah SWT , barang siapa mencari petunjuk pasti disesatkan oleh Allah SWT, dialah tali Allah SWT yang kokoh, dialah peringatan yang bijaksana, dialah jalan yang lurus, dialah yang dengannya hawa nafsu tidak menyeleweng, dan tidak akan rancu dengannya lesan, dan tidak kenyang-kenyangnya dari (membacanya, mempelajarinya) para ulama, tak akan usang karena diulang-ulang, dan tak habis-habisnya keajaibannya, dan dialah yang jin tak henti-hentinya dari mendengarnya sehingga dia mengatakan; “Sungguh kami mendengar Al- Qur’an yang penuh keajaiban, menunjukkan ke jalan lurus, maka kami beriman dengannya, barang siapa yang berkata dengannya pasti benar, barang siapa beramal dengannya pasti diberi pahala, barang siapa menghukumi dengannya pastilah adil, barang siapa mengajak kepadanya pasti di tunjuki kejalan yang lurus.
Kelima : Para sahabat memandang bahwa Al Qur`an adalah kasih sayang dari Allah SWT, maka mereka melihat bahwa seluruh isi Al Quran baik aqidahnya, hukumnya, perintahnya, larangannya, berita–beritanya adalah untuk kebaikan manusia, maka mereka menerimanya dengan senang hati, adapun yang menolak hukum Islam pada dasarnya adalah lebih memihak para pemeras orang lemah dari pada memihak orang yang diperas, lebih sayang dengan para pembunuh dari pada yang dibunuh atau lebih memihak para penggarong dan pemerkosa dari pada yang di garong dan diperkosa, lebih memihak musuh Allah SWT dari pada memihak Allah SWT, dan secara implisit menuduh Allah SWT keras dan dholim, orang yang semacam ini perlu intropeksi akan hakekat keimanannya.
Sedangkan para sahabat memahami hal tersebut di atas sebagaimana memahami wajibnya puasa dari firman Allah SWT :
كتب عليكم الصيام .
Mereka juga memahami wajibnya jihad, menegakkan qishos, mengamalkan wasiyat dengan firman Allah SWT :
}كتب عليكم القصاص{ }كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت { }كتب عليكم القتال{ سورة البقرة
Para sahabat menjadikan Al Qur’an sebagai penerang hakekat hidup, dari Al Qur’an mereka mengetahui bahwa dunia ini hanya seperti tanaman di ladang yang hijau kemudian menguning dan hancur, maka mereka sangat zuhud dengan dunia mereka mengetahui dari Al Qur’an bahwa rizqi, umur sudah ditentukan oleh Allah SWT, tidak akan berkurang karena perjuangan, maka mereka terus berjuang dan berjihad tak takut mati dan tak takut kehilangan harta, mereka mengetahui bahwa mereka diciptakan dalam kondisi bertingkat-tingkat dalam hal ekonomi, kecerdasan dan kekuatan fisik untuk menguji mereka akan tugas yang mereka pikul, maka ketika mereka menjadi para gubernur dan kholifah mereka melihat itu semua sebagai tugas bukan suatu kehormatan, apalagi ketika mereka mendengar RasulAllah SWT bersabda seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori-Muslim :
ما من عبد يسترعيه الله رعية فلم يحطها بنصيحة إلا لم يجدها رائحة الجنة (متفق عليه )
“Tidaklah ada seorang hamba yang dijadikan Allah SWT memimpin rakyat kemudian tidak serius dalam memikirkan kemaslahatannya kecuali tidak akan mencium baunya sorga”.
ما من وال يلي رعية من المسلمين فيموت وهو غاش لهم إلا حرم الله عليه الجنة ( متفق عليه )
“Tidaklah ada seorang wali (pemimpin) rakyat dari kaum muslimin kemudian mati dalam kondisi curang terhadap mereka kecuali Allah SWT haramkan atas dia sorga”.
Para sahabat ketika mendengar hadits ini mereka bersungguh-sungguh dalam memikirkan nasib rakyatnya, sangat berhati hati dalam mengelola harta rakyat sampai Kholifah Umar mengatakan, “Saya menempatkan diri saya dengan baitul mal ini seperti wali yatim dengan harta anak yatim, kalau kaya tidak makan sama sekali darinya dan kalau miskin makan secukupnya”, dan pantaslah Umar dalam musim kelaparan merasakan dan mendengar keroncongan perutnya, beliau mengatakan kepada perutnya :
قرقري أو لا تقرقري فإنك لن تشبعي حتى يشبع المسلمون .
“Silahkan perutku engkau keroncongan atau tidak keroncongan, engkau tak akan kenyang kecuali kalau seluruh kaum muslimin sudah kenyang”.
Dan itu semua dikarenakan para sahabat diberi keimanan sebelum menerima Al Quran sehingga mereka selalu membacanya siang dan malam dan memiliki waktu pekanan dan bulanan dalam menghatamkan bacaan Al-Qur’an mereka tak kenyang-kenyangnya membaca Al Qur’an dan mentadaburinya sebagaimana Allah SWT ceritakan kondisi mereka :
الذين آتيناهم الكتاب يتلونه حق تلاوته أولئك يؤمنون به .
“Orang-orang yang kami berikan kitab, mereka membacanya dengan sebenar-benar bacaan mereka itulah orang yang benar–benar beriman dengannya”.
أمن هو قانت آناء الليل ساجدا وقائما يحذر الآخرة ويرجو رحمة ربه قل هل يستوى الذين لا يعلمون والذين لا يعلمون إنما يتذكر أو لو الألباب . سورة الزمر : الآية :9
“Apakah orang yang beribadah pada malam hari dalam kondisi sujud dan berdiri takut akan hari akherat dan mengharap rahmat Robbnya katakanlah : “Apakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tak mengetahui tiada lain yang mengambil pelajaran adalah orang-orang yang pandai”.
Mereka tidak mencukupkan diri untuk membaca tapi mereka mentadabburinya sehingga diantara mereka ada yang mengulang-ulang satu ayat dalam sholatnya sampai fajar.
Terakhir, mereka melihat Al Quran sebagai sesuatu yang mengorbit kepada tauhid yang isinya berkisar :
أ - التوحيد : معرفة الله توحيده وجلاله، عظمته، ورحمته، وقربه من عبادة .
A : Ke-tauhid-an Allah SWT dan pengenalan terhadap nama dan sifat-sifatnya sehingga mengenal Allah SWT dengan dekat .
ب - آيات التوحيد و قدرة الله .
B : Bukti-bukti ketauhid-an dan kekuasan Allah SWT .
ج - حقوق التوحيد : الأوامر والنواهي وإخلاص العبادة, جعل الحكم له خالصاً .
C : Hak tauhid yaitu perintah untuk dijalankan, larangan untuk ditinggalkan, ibadah untuk ditunaikan dan hukum untuk ditegakkan, karena Allah SWT telah menegaskan bahwa hukum hanya milik Allah SWT dan kalau menyembah Allah SWT haruslah menjadikan hukumnya sebagai aturan hidupnya dan itu sarat agar agama seseorang menjadi agama yang lurus :
إن الحكم إلا لله أمر ألا تعبدوا إلا إياه ذلك الدين القيم .
“Hukum itu milik Allah SWT dan tidaklah kalian diperintah kecuali untuk menyembah kepadanya, dan itulah agama yang lurus”.
د - جزاء التوحيد : ثواب الموحدين من الرفعة في الدنياً والتمكين والبركة في الحياة، والأمن، والعزة، ودخول الجنة، والنصر على الأعداء، وعقوبة المشركين والكافرين والمنافقين من الهوان في الدنيا والضنق في الحياة والعذاب الدائم في الآخرة .
D : Balasan tauhid yang berupa pahala buat ahli tauhid dari ketinggian didunia stabilitas kedudukan, keberkahan hidup, keamanan, kejayaan, dan masuk sorga, kemenangan terhadap musuh. Dan hukuman terhadap orang musyrikin dan kafirin, munafiqin dari kehinaan didunia, kesempitan dalam kehidupan dan adzab yang kekal di akherat.
هـ - مواصفات الموحدين : من التواضع للحق، حسن الخلق، الاستعداد للتضحيات، الوفاء بعهد الله والناس، الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، ودعوة الناس للخير .
E : Kriteria muwahhidin ahli tauhid seperti tawadhu’ terhadap kebenaran, akhlaq yang baik, kesiapan berkorban, setia dengan janji, amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta mengajak manusia kepada kebaikan.
و - المفاهيم المعينة على الاستقامة من بيان حقيقة الدنيا وأنها متاع الغرور، ومحدودية عمر الإنسان، وصعوبة سكرات الموت .
F : Pemahaman-pemahaman yang membantu muwahhidin untuk bisa istiqomah dalam iman seperti keterangan akan hakekat dunia dan bahwasanya dia itu kesenangan yang menipu, dan bahwa umur manusia itu sangat terbatas, sulitnya sakarotil maut .
Terahir kali, itulah sifat dan interaksi para sahabat dengan Al Qur’an dan semoga kita bisa mencontoh mereka, mereka telah bersusah payah untuk kebahagiaan kita dan rasa lelah mereka sudah hilang dan mereka telah bahagia untuk selama-lamanya dan didunia sejak zaman mereka sampai hari qiamat selalu dikenang dan didoakan orang yang datang setelah mereka, alangkah bahagianya mereka.
اللهم إنا نسألك بعزتك التى لا ترام وبملكك الذى لا يضام وبنورك الذى ملاء أركان عرشك أت تملأ قلوبنا بالإيمان وأن تهدى قلوبنا للإسلام وأن تجعلنا ممن يحبك ويحب دينك أكثر من محبته لنفسه، وأن ترينا الحق حقاً وأن ترزقنا اتباعه وأن ترينا الباطل باطلاً وأن ترزقنا اجتنابه إنك سميع الدعاء وصل اللهم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين .
Langganan:
Postingan (Atom)